Halo, Kawans! Maaf ya, posting Back to the 90’s
Battle minggu ini super telat. Ada beberapa kesibukan dan agenda liburan
mendadak yang bikin saya tertunda terus mengetik ini.
Kali ini, saya dan Asti akan membahas mengenai
musik di era 90-an. Untuk membuatnya spesifik, kami akan mengupas sesuatu yang
sangat memorable di telinga anak muda
masa kita SD sampai SMA dulu : British
invasion in the rock music scene!
Sebenarnya, Inggris sudah terkenal sebagai negara
kolonialis yang menguasai banyak sekali negara di masa peperangan dahulu. Nah,
di industri musik, “serangan” juga tanpa ampun dilancarkan, terutama terhadap
negara adidaya, Amerika Serikat.
British
invasion di bidang musik dikenal pertama kali di era 60-an. Waktu itu,
beberapa band rock n roll asal negeri
Ratu Elizabeth ini mengguncang dunia, bahkan mencatatkan diri menjadi legenda
musik hingga kini. Siapa yang tak kenal The Rolling Stones dan The Beatles? Dua
band dewa ini hingga sekarang masih menjadi inspirasi bermusik dari generasi ke
generasi.
Rupanya, di era 80-an, invasi ini kembali terjadi,
dan dinamakan dengan second British
invasion. Saat tren glam rock dan
musik dance sedang digilai, masuklah
band-band yang kemudian kembali menjadi nama-nama super beken. Sebutlah U2, The
Police, Duran Duran, Depeche Mode, Joy Division, dan sederet nama lainnya.
Pergerakan ini terus berlangsung hingga di akhir
80-an, menyeruaklah fenomena Madchester. Beberapa band indie asal kota Manchester, Inggris, memperkenalkan a new kind of sound, mendobrak tren
musik di Inggris yang saat itu dikuasai musik glam rock. Nama-nama The Stone Roses, James, The Charlatans, dan
Happy Mondays, menjadi raja-raja pertama, eyang dari Britpop sebelum Gallagher bersaudara meledakkan nama Britpop ke seantero dunia.
Nah, ternyata serbuan ini tak menyurut di era
90-an. Malah, tidak hanya musik rock saja yang jadi sasaran, namun area musik
pop, rock bahkan musik dansa secara signifikan mulai mengalami perubahan peta
pula. Saluran musik terkemuka, MTV, menjadi ujung tombak tersebarnya pengaruh
Inggris dalam dunia musik waktu itu.
Apa saja serangan-serangan maut dari balik bendera Union Jack ini?
Pertama, ada genre britpop. Genre musik yang satu ini sebenarnya adalah sempalan dari
musik alternatif dan indie rock. Encyclopedia Brittanica mendefinisikan brit pop sebagai pergerakan musik rock
dari Inggris di era 90-an dengan ciri khas petikan gitar melodius ala musik The
Beatles. Dalam definisi itu pula, disebutkan tiga band yang
termasuk jadi nama-nama teratas dalam brit
pop, yaitu Oasis, Blur, dan Pulp. Meskipun, akhirnya dunia pesohor lebih
sering diributkan oleh rivalitas dua band yang disebut pertama.
![]() |
Blur pic : nme.com |
![]() |
Oasis pic : nme.com |
![]() |
Pulp pic : nme.com |
Di Inggris sendiri, Blur mengalahkan Oasis dalam
hal angka penjualan album kala itu. Namun, Oasis yang lebih cerdik, berhasil
melakukan ekspansi ke Negeri Paman Sam, America Serikat dan meraup lebih banyak
popularitas. Teringat pada album fenomenal (What’s
The Story) Morning Glory? di tahun 1995, yang lagu-lagunya tak absen tayang
di saluran MTV. Setidaknya ada enam lagu yang melejit dari album tersebut : Roll with It, Wonderwall, Don’t Look Back in
Anger, Some Might Say, Morning Glory, dan Champagne Supernova.
Saya sendiri, tidak terlalu ambil pusing oleh
perseteruan dua klan Britpop
tersebut. Lagu-lagu mereka sama saja enaknya, terlepas dari gontok-gontokan dan
sederet perilaku ala bad boy yang
kerap ditunjukkan oleh para frontman,
Liam dan Noel Gallagher versus Damon Albarn dan Graham Coxon.
Tak sembarangan jika saya bilang, britpop merupakan serangan terdahsyat
Inggris di era 90-an dalam kancah musik rock. Rasanya, dulu waktu saya ABG,
cowok dengan rambut berponi ala Gallagher
brothers dan Damon Albarn bertebaran dimana-mana. Apalagi dulu para
penggila Britpop ini rajin nongkrong
di gigs band-band lokal yang
membawakan lagu-lagu dari ranah Britania. Salah satunya yang populer di
Jakarta, adalah Poster Cafe.
Jika dilanjutkan, ada pula masa dan aliran musik
kedua yang dikatakan sebagai post britpop.
Di sini, band-band Inggris mulai mengawinkan berbagai sound unik yang membuat musik rock semakin enak didengar, tak
terkecuali musik alternatif dan grunge
ala Amerika. Nah, kalau mau diadu, saya sebenarnya lebih suka dengan aliran
ini.
Sebut saja, Radiohead, The Verve, dan
Stereophonics, terasa tidak semendayu britpop.
Genre ini pula yang nantinya menjadi cikal bakal band-band Inggris pasca
milenium seperti Coldplay, Artic Monkeys, Kaiser Chiefs, Bloc Party, dan
sejenisnya.
![]() |
Radiohead pic : spin.com |
![]() |
The Verve pic : allmusic.com |
![]() |
Stereophonics pic : nme.com |
Sebagai anak nongkrong MTV, saya dan mungkin juga
kamu, tentu tahu dengan sebuah program yang wajib ditonton remaja gaul pada
zamannya : MTV Alternative Nation.
Saya juga turut membeli kedua album kompilasinya.
![]() |
MTV Alternative Nation album volume 1 pic : discogs |
![]() |
MTV Alternative Nation album volume 2 pic : musik-sammler.de |
Bisa dilihat, isi album ini memang masih
menggabungkan musik alternatif dari Inggris dan Amerika. Namun, sebagai
penyimak peta musik rock era 90-an, memang band-band Britania Raya punya ciri
khas yang lebih menghipnotis.
Tidak percaya?
Saya akan masuk ke pembahasan serangan ketiga,
yaitu musik elektronika. Jika di era 80-an, ada Duran Duran, Pet Shop Boys, dan
New Order yang mengusung sound
elektronik dalam musiknya, maka era 90-an mengenal sebuah genre bernama trip hop.
Dalam trip
hop, unsur utama musik adalah hip hop
dan elektronika. Dua band asal Inggris, Massive Attack dan Portishead menjadi
penggedor di garis depan untuk genre ini. Saya ingat betul, bahkan Melly
Goeslaw yang dulu masih aktif di band Potret, menyebutkan Portishead sebagai
salah satu pengaruh bermusiknya. Ini yang kemudian saya rasa menjadi inspirasi
salah satu lagu Potret yang berjudul Diam.
![]() |
Massive Attack pic : discogs |
![]() |
Portishead pic : discogs |
Radiohead pun sempat mencicipi elektronika dalam
album mereka, OK Computer dan Kid A. Sebuah terobosan menarik, namun
mendapatkan kritik pula dari beberapa pengamat musik. Saya termasuk menikmati
eksperimen ini, karena ada warna berbeda yang membuat lagu-lagu Radiohead
semakin variatif.
Untuk musik electronic
dance, tentu pecinta perdugeman era 90-an tahu tiga nama besar berikut :
Prodigy, The Chemical Brothers, dan Fatboy Slim. Tak dipungkiri, tiga nama
tersebut adalah penguasa lantai dansa dengan beats yang menghentak, namun tidak bikin pusing kepala alias godek-godek enggak jelas hahaha.
![]() |
The Chemical Brothers pic : getty images |
![]() |
Prodigy pic : reuters |
![]() |
Fatboy Slim pic : fatboyslim.net |
Tak lengkap jika saya membahas ini itu, tanpa
membocorkan playlist seri British Invasion ini. Kali ini, saya
akan berikan daftar yang bukan berisi lagu-lagu standar, yang mungkin kalau
kamu lihat, bakalan seperti udah tebak apa isinya. Lagu-lagu ini mungkin pernah
kamu dengar, pernah kamu suka, namun saya rasa sudah banyak yang mulai
melupakannya.
Inilah tujuh lagu ‘terserang Inggris’ pilihan Mamah
Merah :
1. Fake Plastic Trees – Radiohead
Oasis dan Blur boleh saja disebut sebagai raja
diraja musik rock Inggris, namun selera saya tak bisa berpaling dari band asal
Oxfordshire ini. Keberanian mereka bereksperimen menarik perhatian saya dan
jujur saja, keunikan vokal Thom Yorke yang macam hidup dalam alamnya sendiri, really dope!
Jika kebanyakan orang akan mengingat Radiohead dari
tembang Creep dan High and Dry, lagu paling memorable versi saya adalah lagu mereka
yang satu ini.
Apalagi, jika perhatikan baik-baik, video klip lagu ini yang
fenomenal, saat Thom Yorke, sang vokalis duduk di troli sebuah supermarket. Cuplikan
video Fake Plastic Trees juga menjadi
salah satu opening title program MTV
(MTV Fresh, tepatnya, kalau ingatan
saya belum error, ya!). Kabarnya,
lagu dari album The Bends ini dibuat
Yorke dalam kondisi mental yang sangat tidak stabil dan prosesnya mengalir
begitu saja. Well, I must say, coming from a screwed mind, you
did a very good job making this kind of music, Sir.
2. The Everlasting – Manic Street Preachers
Saya mengenal Manic Street Preachers pertama kali
waktu menemukan salah satu lagu mereka A
Design for Life ada di album MTV
Alternative Nation volume pertama. Kemudian, begitu masuk ke album
berikutnya, saya menyebut band asal Wales ini sebagai pembuat judul lagu sepanjang
jalan kenangan. Mungkin karena judul albumnya saja panjang : This Is My Truth Tell Me Yours. Plus,
dua lagu lainnya yang judulnya mirip artikel viral jaman now, If You Tolerate This And Your Children Will Be Next dan You Stole The Sun From My Heart.
Tapi, melodi dan lirik dalem ala Manic Street Preachers memang sukses mengambil hati saya.
Cinta yang sama akhirnya tumbuh kembali di tahun 2004, ketika saya berkenalan
dengan band Keane, yang saya sering sandingkan di hati bersama Manic Street
Preachers.
3. Govinda – Kula Shaker
Hayo pasti kamu lupa deh, pernah ada lagu berlirik
India yang enggak bikin kamu joget-joget di balik pohon atau nari
hujan-hujanan? Ya, band yang satu ini nekat membuat lagu yang liriknya lebih
parah pengulangannya dari lagu anak-anak. Tapi, apa mau dikata, nada dan
liriknya sangat catchy. Jadilah mudah
menempel pada memori and delightedly
stuck in our head.
Kula Shaker memang menempatkan unsur India dan
mengadopsi konsep spiritualitas dalam band. Dari namanya saja, yang diambil
dari salah satu raja India di abad kedelapan, Kulasekhara, sudah terlihat
betapa kentalnya nuansa negeri Asia Selatan itu bagi Crispian Mills, dkk. Suara
sitar, tamborin, dan tabla setia mengisi musik Kula Shaker. Sayangnya, kritikus
kurang menyukai Kula Shaker dan saya lihat, setelah album perdana mereka, K di tahun 1996, Kula Shaker seakan
tenggelam oleh band-band lain yang lebih kreatif meramu musik mereka.
4. Glory Box – Portishead
This song
sounds like a great temptation! Diambil dari album perdana mereka berjudul Dummy, vokal Beth Gibbons begitu
menggoda, seperti menyuarakan lirik seorang wanita yang ingin benar-benar
dicintai, bukan sekadar jadi mainan belaka.
Lagu ini termasuk populer karena
iramanya yang khas, digunakan sebagai latar musik pada film, serial televisi,
dan iklan. Iklan yang dulu sering diputar adalah denim ternama, Levi’s, dengan
plot seorang siswa sekolah dasar yang melihat seorang pria bercelana denim
keren, mendapatkan pesan rahasia dari seorang wanita (yang rupanya adalah guru sang
siswa).
Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, genre
yang diusung Portishead, yaitu trip hop,
memang tidak biasa. Like a fresh air in
the music scene, keistimewaan aliran musik ini membuat Portishead wajib
didengarkan bagi siapa saja yang ingin isi playlist
lebih berwarna dan bukan yang standar saja.
5. Three Lions – Lightning Seeds
Oke, Inggris dan sepakbola seperti anak kembar siam
yang sulit dipisahkan. Maka, tak salah jika saya harus memasukkan lagu yang
satu ini ke dalam playlist hari ini. Band
ini adalah salah satu favorit suami saya dan sering saya dengar di radio mobil
hingga sekarang. Selain karena berasal dari kota Inggris favorit saya,
Liverpool, lagu ini mengungkapkan doa, harapan, dan semangat para pendukung
kesebelasan Inggris (yang hingga kini belum berhasil memboyong kembali Piala
Dunia ke ranah Britania).
Dengan lirik yang turut disusun oleh duo komedian
Inggris, David Baddiel dan Frank Skinner, lagu Three Lions dibuat untuk menyambut Piala Eropa 1996 yang memang
digelar di Inggris waktu itu. Sayang, meskipun menjadi tuan rumah, gelar juara
masih belum beruntung diraih dan masih berlanjut ke ajang internasional
lainnya. Setidaknya, lagu ini masih terus populer, apalagi dengan jargon
andalan football’s coming home, yang
semoga saja bisa terwujud dalam waktu dekat.
6. Me and You Versus The World - Space
Tak banyak yang tahu band satu ini. Memang, dari
luar band yang berkiblat pada The Who ini terlihat biasa saja. Frontman-nya bukan tipe bad boy dengan wajah menarik. Melodi
lagunya pun campur aduk dengan berbagai sound.
Namun, apa yang jadi kekuatan band ini adalah ide lagu yang tidak biasa
(seperti tentang sakit jiwa dan serial
killer) plus lirik yang seringkali berbau dark humor. Katanya sih, Tommy Scott, sang penulis lagu sekaligus
vokalis utama band ini banyak terinspirasi dari sutradara Quentin Tarantino dan
kartun Looney Tunes dalam membuat lagu-lagunya.
Datang dari album Spiders, saya memandang lagu ini sebagai bentrokan antara suara
hati Bonnie and Clyde campur Romeo and Juliet, tetapi dengan gaya
lebih tengil dan kocak. Mungkin, kalau kamu lagi pacaran backstreet atau nekat mau kawin lari menentang restu, bisa makin
nekat kalau menghayati lagu ini hihihi.
7. Block Rockin’ Beats – The Chemical Brothers
Sebagai penutup daftar, saya persembahkan tembang
yang paling nendang soal serangan Britania Raya. Sempat menjadi ringtone di ponsel saya, betotan bas,
hentakan drum, dan suara towet towet dalam
lagu ini memang sangat berkesan. Rasanya pengin setel lagu ini dalam volume
yang bikin runtuh atap rumah, kalau kepala lagi puyeng sama ulah ninjaboys,
wakwaw! Meskipun saya masih enggak bisa lancar ngomong ‘back with another one of those’ tanpa kesrimpet di depan kata ‘block
rockin beats’ hehehe.
Tapi, kejeniusan Tom Rowlands dan Ed Simons memang
luar biasa. Sampai Noel Gallagher, pentolan Oasis, yang juga sama-sama berasal
dari kota asal mereka, Manchester, ikut berkolaborasi dalam beberapa tembang,
seperti Setting Sun dan Let Forever Be. Belum sah begajulan di era 90-an kalau belum
bergoyang dengan lagu peraih Grammy 1998 kategori Rock Instrumental ini!
Wow! Memang tak ada habisnya kalau membahas soal
musik 90-an. Apalagi, kalau mendengar musik masa kini yang mulai terdengar
membosankan di telinga, kembali ke playlist
nostalgia ini adalah penyegaran yang oke banget dicoba.
Penasaran sama pilihan lagu-lagu brit invasion ala Asti? Baca di post-nya yang satu ini!
Dan saya juga sedang membuat serial romance di Wattpad berjudul Bittersweet Love Rhapsody yang menggunakan sederet lagu-lagu 90's, termasuk british invasion songs. Mampir baca, vote, dan comment sekalian boleh lho!
Kamu
sendiri, apakah dulu sempat tergila-gila dengan salah satu band yang saya bahas
di atas? Atau ada pilihan favoritmu sendiri yang masih susah move on darinya? Share di kolom Komentar, yuks!